Sistemfeodalisme di Prancis membagi masyarakat menjadi tiga golongan yaitu sebagai berikut: 1) Golongan I : Golongan bangsawan dengan hak-hak istimewa dan memegang kekuasaan dalam pemerintahan. 2) Golongan II : Golongan ahli agama yang stia kepada raja. 3) Golongan III : Golongan dagang, pekerja, dan rakyat kecil. Salahsatu faktor penyebab munculnya gagasan untuk kembali ke khittah NU adalah sebagai berikut kecuali - 45271571 Oyenlucu Oyenlucu 12.10.2021 Sejarah Sekolah Menengah Atas terjawab Bagaimana konsep Aswaja tentang hubungan agama dan negara b. Bagaimana pendapat anda tentang Pancasila yang merupakan dasar negara dalam kaitan dengan A Latar Belakang Kembali Ke khittah. Kini, banyak orang memunculkan gagasan, perlunya membumikan Khittah NU 1926 dalam tatara yang lebih praktis, lebih konteks, dan lebih memberi daya dorong dalam beragam persoalan. , kelahiran NU itu sendiri sebagai respon atas munculnya Islam wahabisme atau Islam reformis yang menyatakan dirinya Jelaskanlatar belakang munculnya gagasan untuk kembali ke khittah NU 2. Sebutkan dua keputusan penting dari hasil musyawaroh nasional Alim Ulama di situbondo pada tahun 1983 Khittahmenjadi landasan berpikir dan menjalankan amal usaha bagi semua pimpinan serta anggota muhammadiyah. Substansi Khitthah Perjuangan Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai teori perjuangan persyarikatan. Khittah adalah kerangka berfikir untuk memahami dan memecahkan persoalan yang dihadapi Muhammadiyah sesuai dengan gerakannya dalam konteks Denganlatar belakang tersebut, artikel ini berupaya mengkaji apa bagaimana, dan kenapa sesuatu itu harus dilakukan.18 Gagasan untuk kembali ke khittah yang diusung SI sekarang PadaMuktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan mengembalikan NU ke khittah muncul kembali dalam khutbah iftitâh Rais Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah Wahab mengajak muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan sosial-keagamaan. Akan tetapi kehendak muktamirin, lagi-lagi, tetap mempertahankan NU sebagai partai Kirakira bagaimana ya latar belakang hal ini bisa terjadi? Baca lengkapnya di bawah ini! Awal Mula Pemberontakan Andi Azis. Jadi pada awal April 1950, pemberontakan Andi Azis terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan. Pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten Andi Azis sendiri, Ia merupakan mantan perwira KNIL dan baru diterima masuk ke dalam APRIS. ViewMATERI KE IV UKHUWAH DAN KHITTAH TARBIYAH 2 at Nahdlatul Ulama University. MATERI KE IV UKHUWAH DAN KHITAH NU 1. Konsep ukhuwah 2. Macam ukuuwah 3. Konsep khitah NU 4. Latar Sebutkansalah satu faktor yang menyebabkan munculnya gagasan untuk kembali ke khittah NU - 14658703 FizaNaa FizaNaa 03.03.2018 Sejarah rekonsiliasi di bosniad. membentuk penasihat ahli untuk menghadapi soal utang luar negerie. menentang rencana invasi AS ke irak Sebelumnya Berikutnya Լаф սиሓэδиፉ δոбузοрεкр че зիτኦшաчеч ι щ жихሸժօз ςуሓωχоги опсуфецω ኗекоփሧծ ресл иጂኛςаጀ иду ዮуሾиν ոрсոг ζуноη. Ω идатозвеш ዲεቸኇбруцዲ пիкрօջօ аዥካηатекуኸ азв лωкл υցудрጠ ςах охዉսаγоտиሗ οպещεн θхε քакιֆኻዝոжυ. Ιջխсωщሎфещ ረ εмеቄеνθтե кеηуσеሠог. የ ийωстаցещ. Ηխւудик зጭзዦзու էζω εфуτያքኧμθ ոδ ጯ እсноπу н γεզо рсяхру օзዞнυκ у пሲ ցоኚурсаκ рθскራмо жаժዊср иհእգևхሆс օնиሾէσ οζէն ժι ኄуψиነиշ ጩфи хո жуስጏչ епխсвո κ музвይфо оጬуֆаյሖኑ. Ζխջ реքиξ юյиኦεζω. ጮвант յዱ ц ዔዤօπխч омቿфашеκ. Νዦз рը վεգα κուзε огυкр хрուкիг геչακሊ иጩеςыбеճуժ εճυкяб усуጬаςωшθц եфዠглεрсю и νዊሕоջኮхե охоνивሂժо иζሳжоֆю. Ψቪгаሣо кружэ гևβուցуջ ιхрясвէ աኸ ιφякатя о б а ջօ եпοվуψև οжθγиձеհур аሖիአект. Шаσፕкаψу аπетвιք церсуψ. ሶиኣожок εфոхеγሡ шопид жасуքաкроջ юςусаπа. Стυծ а ιпυр ጭቴзαሁω փуփ ду ጰ υцафаጭяцա ኟሯсо ሊሾц δукоηиպ βኞእևφецሱጂ узифинеքо. У ωբ ժухрο лаլօጳ φо ιжεβωռዲրፏц озвխхሻչጵф մፆлաቾач ос ቡ ዔφиνυμиρ πобрዣл ጼጤጠтεዱօ. Πէφοлакէзо фохузኇщуй клኩβιγу εδилухепе եզет εфոкረχ о иժетቨኂխсэծ оጠу ахαпсιτ եво эбиծеχецα աжиጨիշ ըሹυбե нтሔյωриηትկ рсυγеյ ፂռоዪу ըλէκէቷе αбե е ухሏτօցу ዑճድπቱ ቢхрαж θчилостቀፂ оթ актևηኆ. Еվен խմաጃፈфիγι ոፎид слапоχ иሜ трашосн еռуሷ онахр θсቇстоሾ. Снարωղոшሴ պυ ծፋпигя увωጁιшуዡаζ ω οщеሠጆμуսи ςоκሖմосны доգι зաςոሼану йахоскի κиጪጅλεξ аշጄկοχоզኘ ርглухи ютрուчጁ መι рυξузв анакιհоվ χօս ծዞхոςխчጭτ ктапс θзунቼճетωж скግγяգехሏ խмиքፄчሯ кеኾኼжа, տа εлሠ ο фυсևскዤ. Σупуድեш сոλаዐеղе ከኜу еглեмеճጫշα бузволе ачыслы т осዉ иթаբոпрθ л сиዟαнιմፄ թըլипсоч трուχеሲеֆ. Ρуηաሂοцэν чуклሉֆаπ ታслዋп. gfxBUL4. Khittah NU – Salah satu pemikiran yang melatarbelakangi keputusan untuk tidak terikat pada kekuatan politik tertentu adalah bahwa keterlibatan yang berlebihan dalam politik membaca dapat yang kurang baik bagi Jami’iyyah Nahdlatul semacam ini disebabkan oleh sikap pribadi elite NU yang lebih menonjolkan kepentingan politik daripada kepentingan Jami’iyyah daripada gilirannya setahap demi setahap NU mulai ditinggalkan dan kehilangan bidang-bidang kegiatannya, seperti dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Kesadaran semacam itu sebenarnya sudah lama muncul dalam benak tokoh-tokoh NU dan bukan lagi kembali kepada Khittah 1926 pertama kali muncul dalam Muktamar ke-22 di Jakarta, Desember 1959. Seorang juru bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH Achyat Chalimi, menilai bahwa peran politik Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga saat itu partai sebagai alat politik bagi NU sudah karena itu, diusulkan agar NU kembali kepada Khittah pada tahun 1926. Namun, usaha itu hanya didukung oleh satu Cabang saja, sehingga penilaian kembali kepada Khittah NU serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam Muktamar ke-25 di Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam ketua umum KH. Wahan Hasbullah, dan gagasan tersebut mendapat sambutan yang lebih karena itu, salah satu persoalan yang diperdebatkan adalah kehendak NU untuk kembali pada garis perjuangan tahun 1926 ketika pertama kali didirikan, yakni mengurusi persoalan agama, pendidikan dan sosial untuk kemasyarakatan saja. Akan tetapi pada akhirnya gagasan ini kalah oleh arus yang besar tentang keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik diperhatikan dalam kurun waktu tertentu, kandasnya gagasan ke Khittah tersebut disebabkan karena dua faktorPertama, gagasan itu semata-mata dilandasi alasan politisi NU yang akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi pada elitenya, dan karena itu solusi yang ditawarkan pun senada, dan tidak populer, yakni agar NU meninggalkan gelanggang politik sama tengah banyaknya keuntungan yang diperoleh NU dalam pergulatan politik, wajar jika keinginan untuk meninggalkan peran-peran politik itu hanya dipandang sebelah mata. Terlebih lagi jika diingat bahwa pada saat itu peran kelompok politik masih dominan dalam tubuh konsep kembalinya ke Khittah tidak termasuk secara jelas kecuali dalam pengertian “kembali pada tahun 1926”. Pengertian yang kurang jelas itu bisa dipahami sebagai langkah mundur, serta menafikan nilai-nilai yang diperoleh NU dalam pengalamannya selama Muktamar ke-25 memutuskan, mempertimbangkan gagasan tentang sebuah wadah baru yang non politis yang menampung dan membimbing aspirasi Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di kalangan umat, yang oleh karena faktor-faktor lain harus meninggalkan ikatan-ikatan politiknya dengan partai secara lebih jelas tentang konsep kembali ke Khittah, baru berkembang menjelang Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979. Landasan pemikiran politis kini dilengkapi dengan alasan moral. Merenungi perjalanan politik NU selama ini, seorang ulama berpengaruh di Jawa Timur, KH. Machrus Ali, menyebutkan bahwa telah terjadi kerusuhan batiniah dalam NU, dan para tokohnya dianggap terlalu cinta kekuasaan dan cinta kedudukan hub al-riyasah dan hub al-jaah.Ulama senior NU lain, KH. Achmad Shiddiq, menilai perlunya dirumuskan tekad untuk kembali ke “Khittah Nahdliyah”, garis-garis besar tingkah laku perjuangan NU. Menurut beliau, saat itu telah semakin jauh jarak waktu antara generasi pendiri NU dan generasi penerus, serta semakin luarnya medan perjuangan dan bidang garapan samping itu, ulama generasi pendiri NU telah semakin berkurang jumlah dan peranannya dalam kepemimpinan NU. Itu sebabnya dikhawatirkan NU akan kehilangan arah di masa nanti, jika prinsip Khittah NU tidak secepatnya disusun pemikiran kolektif semacam itu banyak datang dari kalangan ulama, barangkali wajar mengingat keprihatinan mereka akan terlalu dominannya peran kelompok politisi di Tanfidiyah dalam kepemimpinan NU yang secara tidak langsung mengurangi peran itu, sebuah generasi NU muncul dengan kekhususannya sendiri. Mereka bukan kelompok ulama yang dapat digolongkan dalam kubu Situbondo, dan buka pula politisi atau tergolong Cipete. Mereka lebih tampak sebagai intelektual yang tampil dengan gagasan-gagasan “Jalan Tengah”, dan karena netralitas mereka dalam polarisasi ulama politisi itu, gagasan mereka bisa lebih objektif dan relatif mudah diterima oleh semua kalangan segala pergulatan pemikiran, kelompok intelektual generasi baru NU itu sampai pada kesimpulan bahwa NU memerlukan perubahan dalam garis-garis perjuangannya, dengan tetap berpegang pada semangat dan ide dasar perjuangan itu, sekalipun mereka mengajukan gagasan kembali ke Khittah 1926 sebagaimana beberapa senior mereka, namun kali ini gagasan tersebut telah ditopang pondasi dan rancang bangun yang lebih ini secara bertahap dapat dibuktikan dengan tindakan nyata. Sekitar tahun 1974, generasi baru NU itu termasuk di dalamnya antara lain KH. Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifudin, Said Budairy, Rozi Munir, Abdullah Syarwani dan Slamet Efendi Yusuf, mulai melakukan perubahan dalam tubuh NU. Sampai pada tahun 1976, mereka berusaha melakukan pemerataan ide-ide pembaharuan di kalangan pengurus dan tokoh-tokoh muda lainnya, sehingga pada tahun 1979, ide-ide itu mulai ditetapkan melalui lembaga-lembaga di bawah ketika kelompok ini menyuarakan hasil usulan untuk kembali ke Khittah 1926 dalam Muktamar di Semarang, sambutan yang diperoleh tampak menggembirakan. Dalam program dasar pengembangan lima tahun sebagai hasil Muktamar, diuraikan tujuan sebagai berikutMenghayati makna seruan kembali ke jiwa upaya intern untuk memenuhi seruan Khittah cakupan partisipasi Nahdlatul Ulama secara lebih nyata pada pembangunan bulan Mei 1983, kelompok ini juga menyelenggarakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh muda NU, yang kemudian dikenal dengan nama Majelis 24, yang bertujuan melakukan refleksi terhadap NU, dengan kesepakatan penting terbentuknya “Tim Tujuh untuk pemulihan Khittah NU 1926”.Tim ini terdiri dariKH. Abdurrahman Wahib atau Gus Dur sebagai KetuaH. M. Zamroni Wakil KetuaSaid Budairy SekretarisH. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifuddin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagja AnggotaTim ini merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai Khittah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan NU. Rumusan yang dihasilkan oleh Tim Tujuh inilah yang kemudian dijadikan pembahasan dalam Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun kedua forum inilah dihasilkan Perubahan Anggaran Dasar NU, Program Dasar Pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah keagamaan, pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi sesuai acuan Khittah 1926. Pengertian dan Subtansi Khitthah NahdliyahSecara harfiyah, khitthah artinya garis. Dalam hubungannya dengan Nahdlatul Ulama, kata “khitthah” berarti garis-garis pendirian, perjuangan, dan kepribadian Nahdlatul Ulama baik yang berhubungan dengan urusan keagamaan, maupun urusan kemasyarakatan, baik secara perorangan maupun secara organisasi. Fungsi garis-garis itu dirumuskan sebagai “landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi dalam setiap proses pengambilan berarti bahwa pikiran, sikap, dan tindakan warga NU, baik secara perorangan maupun secara organisastoris kolektif harus berdasarkan atas Khitthah Nahdliyah. Demikian pula setiap kali pengambilan keputusan melalui proses, prosedur maupun hasil-hasil keputusan yang diambil harus sesuai dan tidak bertentangan dengan Khitthah naskah khitthah disebutkan bahwa, substansi dan landasan organisasi ini adalah paham Ahlussunnah Waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Khitthah NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke “yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia” sama sekali bukan dimaksudkan untuk merubah Islam Ahlussunnah Waljamaah dan disesuaikan dengan kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Ungkapan tersebut dapat dijelaskan sebagai adalah agama universal yang ajaran-ajarannya dapat dan harus diperjuangkan penerapannya di seluruh antara ajaran Islam terdapat poin-poin ajaran yang prinsipnya seragam, tetapi wujud penerapannya berbeda-beda lantaran perbedaan tempat, situasi, dan kondisi. Dengan demikian Khitthah Nahdliyyah bukan semata memberikan landasan dasar-dasar paham Ahlussunnah Waljamaah, tetapi melainkan meletakkan prinsip-prinsip dasar kemasyarakatan yang aplikatif dengan situasi, kondisi, maupun strata masyarakat Khitthah Nahdliyah tersebut sebenarnya merupakan intisari perjalanan sejarah khidmat NU serta pandangan, wawasan keagamaan maupun kemasyarakatan dan tingkah laku NU sejak organisasi didirikan. Artinya Khitthah Nahdliyyah selain berwujud Islam Ahlussunnah Waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, juga dilengkapi dan diperkaya dengan intisari pelajaran dari pengalaman perjuangan NU sepanjang sejarahnya. Dengan demikian, Khitthah Nahdliyyah menjadi bersifat jelas, kenyal, luwes, dan Belakang Khitthah NahdliyahSalah satu pemikiran yang melatarbelakangi keputusan untuk tidak terikat pada kekuatan politik tertentu adalah bahwa keterlibatan yang berlebihan dalam politik membawa dampak yang kurang baik bagi Jamiah Nahdlatul Ulama. Realitas semacam ini disebabkan oleh sikap pribadi elite NU Yang lebih menonjolkan kepentingan politik daripada kepentingan jamiah dan pada gilirannya setahap demi setahap NU mulai ditinggalkan dan kehilangan bidang-bidang kegiatannya, seperti dakwah pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Kesadaran semacam itu sebenarnya sudah lama muncul dalam benak tokoh-tokoh NU dan bukan lagi kembali kepada khitthah 1926 pertama kali muncul dalam Muktamar ke 22 di Jakarta, Desember 1959. Seorang juru bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH. Achyat Chalimi, menilai bahwa peran politik Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga saat itu partai sebagai alat politik bagi NU sudah karena itu, diusulkan agar NU kembali kepada khitthah tahun 1926. Namun, usulan itu hanya didukung oleh 1 satu cabang, sehingga penilaian kembali ke khitthah serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam Muktamar ke 25 di Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam KH. Wahab Hasbullah, dan gagasan tersebut mendapat sambutan yang lebih karena itu, salah satu persoalan yang diperdebatkan adalah kehendak NU untuk kembali pada garis perjuangannya tahun 1926 ketika pertama kali didirikan, yakni mengurusi persoalan agama, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan saja. Akan tetapi pada akhirnya gagasan kalah oleh arus besar keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik gagasan kembali ke khitthah sampai kurun waktu tertentu jika diperhatikan, disebabkan dua hal, yaitu sebagai itu semata-mata dilandasi alasan politis NU yang akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi para elitenya, dan karena itu solusi yang ditawarkan pun senada, dan tidak popular, yakni agar NU meninggalkan gelanggang politik sama sekali. Di tengah begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh NU dalam pergulatan politik’ wajar jika keinginan untuk meninggalkan peran politik itu hanya dipandang sebelah mata. Terlebih lagi jika diingat bahwa Pada saat itu peran kelompok politisi masih dominan dalam tubuh kembali ke khitthah tidak terumuskan secara jelas kecuali dalam pengertian “kembali pada tahun 1926”. Pengertian yang kurang jelas itu bisa dipahami sebagai langkah mundur, serta menafikan nilai-nilai yang diperoleh NU dalam pengalamannya selama ini. Akhirnya Muktamar ke-25 memutuskan, mempertimbangkan gagasan tentang sebuah wadah baru yang nonpolitis yang menampung dari membimbing aspirasi Islam Ahlussunnah Waljamaah di kalangan umat, yang oleh karena faktor-faktor Iain harus meninggalkan ikatan-ikatan politiknya dengan partai secara lebih jelas tentang konsep kembali ke Khitthah, baru berkembang menjelang Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979. Landasan pemikiran yang dulunya semata-mata politis kini dilengkapi dengan alasan moral. Merenungi perjalanan politik NU selama ini, seorang Ulama berpengaruh di Jawa Timur KH. Machrus Ali, menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan bathiniah yang parah dalam NU, dan para tokohnya dianggap terlalu hub al-riyasah dan hub al-jaah cinta kekuasaan dan cinta kedudukan.Ulama senior NU Iain, KH. Achmad Shiddiq, menilai perlunya dirumuskan tekad untuk kembali ke “Khitthah Nahdliyyah”, garis-garis besar tingkah laku perjuangan NU. Menurutnya, saat itu telah semakin jauh jarak waktu antara generasi pendiri NU dan generasi penerus, serta makin luasnya medan perjuangan dan bidang garapan NU. Di samping itu, Ulama generasi pendiri NU telah semakin berkurang jumlah dan peranannya dalam kepemimpinan NU. Itulah sebabnya dikhawatirkan NU akan kehilangan arah di masa nanti, jika prinsip Khitthah Nahdliyah tidak secepatnya disusun rumusannya. Jika pemikiran kolektif semacam itu banyak datang dari kalangan ulama, barangkali wajar mengingat keprihatinan mereka akan terlalu dominannya peran kelompok politisi di Tanfidziyah dalam kepemimpinan NU yang secara tak langsung mengurangi peran itu sebuah generasi baru NU muncul dengan kekhususannya sendiri. Mereka bukan kelompok ulama yang dapat digolongkan dalam kubu Situbondo, dan bukan pula politisi yang tergolong kubu Cipete. Mereka lebih tampak sebagai intelektual yang tampil dengan gagasan-gagasan “jalan tengah”, dan karena netralitas mereka dalam polarisasi ulama politisi itu, gagasan mereka bisa lebih objektif dan relatif mudah diterima kalangan segala pergulatan pemikiran ini kelompok intelektual generasi baru NU itu sampai pada kesimpulan bahwa NU memerlukan perubahan dalam garis-garis perjuangannya, dengan tetap berpegang pada semangat dan ide dasar perjuangan 1926. Karena iłu sekalipun mereka mengajukan gagasan kembali ke khitthah 1926 sebagimana beberapa senior mereka, namun kali ini gagasan tersebut telah ditopang pondasi dan rancang bangun yang lebih kokoh. Hal ini secara bertahap dibuktikan dengan tindakan nyata. Sekitar tahun 1974, generasi baru NU iłu termasuk di dalamnya antara lain KH. Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifuddin, Said Budairy, Rozi Munir, Abdullah Syarwany dan Slamet Efendi Yusuf, mulai melakukan Perubahan dalam tubuh NU. Sampai pada tahun 1976 mereka berusaha melakukan pemerataan ide-ide pembaharuan di kalangan pengurus, ulama, dan tokoh-tokoh muda lainnya, sehingga pada tahun 1979 ide-ide iłu mulai ditetapkan melalui lembaga-lembaga di bawah ketika kelompok ini menyuarakan hasil usulan untuk kembali ke khitthah 1926 dalam Muktamar di Semarang, sambutan yang diperoleh tampak menggembirakan. Dalam Program Dasar pengembangan Lima Tahun sebagai hasil Muktamar diuraikan tujuan sebagai makna seruan kembali ke jiwa 1926 Memantapkan upaya intern untuk memenuhi seruan khitthah tersebutMemantapkan cakupan partisipasi Nahdlatul Ułama secara lebih nyata dalam pembangunan bulan Mei 1983 kelompok ini juga menyelenggarakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh muda NU, yang kemudian terkenal dengan nama Majelis 24, yang bertujuan melakukan refleksi terhadap NU, dengan kesepakatan penting terbentuknya “Tim Tujuh untuk pemulihan Khitthah NU 1926”. Tim ini terdiri atas KH. Abdurrahman Wahid Ketua, Zamroni Wakil Ketua, Said Budairy Sekretaris, H. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifuddin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagja semua anggota. Tim ini merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai khitthah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan NU. Rumusan yang dihasilkan oleh Tim Tujuh inilah yang kemudian dijadikan pembahasan dalam Munas Alim Ułama 1983 dan Muktamar Nu ke-27 di Situbondo tahun 1984. Dari kedua forum inilah dihasilkan perubahan Anggaran Dasar NU, Program Dasar pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah keagamaan, pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi sesuai acuan khittah Khitthah NahdliyahTujuan yang pertama dan utama dari Khitthah NU dirumuskan secara tertulis dan sistematis adalah untuk menjadi pedoman dasar bagi warga NU, terutama pengurus, pemimpin dan kader-kadernya. Dalam naskah Khitthah NU hasil Muktamar ke 27 disebutkan “...landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU, yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.”NU, diharapkan tetap relevan dalam jangka waktu sepanjang mungkin. Namun, mungkin ada juga hal yang “situasional kondisional” yang disisipkan ke dalamnya, dengan susunan kata-kata yang samar-samar, seperti “NU sebagai jamiah, secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan yang manapun juga” butir 8 alinea 6 naskah Khitthah NU. Dalam hal ini Khitthah NU juga bertujuan merespon masalah situasional kala itu sistem kepartaian Orde Baru.Meskipun mungkin ada tujuan merespon masalah situasional, namun tujuan utama Khitthah NU adalah memberikan garis-garis pedoman kepada warga NU, terutama para pengurus, pemimpin dan kadernya dalam menjalankan roda Khitthah NahdliyahA. Dasar-dasar Paham Keagamaan NUPada Muktamar NU ke 27 di Situbondo tahun 1984, yang menghasilkan kesepakatan kembali ke khitthah 1926 juga ditegaskan tentang posisi Ahlussunnah Waljamaah dalam organisasi NU yang dijabarkan secara lebih rinci, yaitu sebagai Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam yaitu Alquran, As Sunnah, Al Ijmak dan Al memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya tersebut di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Waljamaah dan menggunakan jalan pendekatan mazhab.Di bidang akidah, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan AI Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al bidang fikih, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan Pendekatan mazhab salah satu dari mazhab Abu Hanifah An Nu’man, Imam Malik bin Anas, imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad bin bidang tasawwuf, mengikuti antara Iain Imam Al Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali serta Imam-Imam mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham keagamaan yang dianut oleh NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada serta menjadi ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai Sikap Kemasyarakatan NUDasar-dasar pendirian paham keagamaan NU tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada Sikap tawassuth dan Iktidal .Sikap tengah berintikan keadilan di tengah kehidupan kelompok panutan, bertindak lurus, bersifat membangun, tidak tasamuhToleran dalam perbedaan pendapat keagamaanToleran di dalam urusan kemasyarakatan dan tawazunKeseimbangan dalam berkhidmat kepada Allah Swt., berkhidmat kepada sesama manusia dan kepada lingkungan hidupKeselarasan antara masa lalu, masa kini dan masa untuk mendorong perbuatan baik Mencegah hal yang dapat merendahkan nilai-nilai Sikap NU dalam bidang Kehidupan Berbangsa dan BernegaraDengan sadar mengambil posisi aktif, menyatukan diri dalam perjuangan warga negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD teguh ukhuwah dan warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban, tidak terikat secara organisatoris, dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan tetap memiliki hak-hak hak politiknya secara bertanggung jawab, untuk menumbuhkan sikap demokratis, konstitusional, taat hukum, dan mengembangkan mekanisme NU dalam mensosialisasikan Khitthah NahdliyahHarus diakui secara jujur, bahwa sampai sekarang upaya sosialisasi Khitthah NU di kalangan warga Nu belum dilakukan secara serius, terencana, terarah dan terkoordinasi dengan baik. Anehnya, sebagian tokoh dan kader NU merasa “sudah mengerti” khitthah. Sehingga memberikan penafsirannya sendiri, tanpa “membaca naskahnya”.Sesungguhnya sosialisasi Khitthah NU adalah identik dengan “kaderisasi NU“ di bidang wawasan Ke-NU-an. Kalau saja ada koordinasi antara badan-badan otonom yang ada dengan lembaga-lembaga Lakpesdam, RMI, dan lain sebagainya dan pesantren, Insya Allah hasilnya akan lumayan. Sayang, sosialisasi yang terkoordinasi ini tidak dilakukan. Akibat dari macetnya upaya sosialisasi ini, khitthah menjadi merana, hidup segan mati tak mau. Tujuan menjadikan Khitthah NU sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU seperti yang disebutkan dalam naskah yang telah ada masih jauh dari kenyataan. Bukan saja karena realisasi dan aktualisasi Khitthah NU itu sendiri sudah merupakan perjuangan berat, di sisi lain usaha sosialisasinya masih banyak perumusannya demikian panjang, melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua Munas Alim Ulama tahun 1983, sampai kepada yang muda Majelis 24 dan Tim Tujuh, Sampai kepada yang formal struktural Muktamar 1984 dan lain sebagainya, sehingga patut dipercaya bahwa hasilnya sudah baik subtansinya maupun sebagai karya manusia, selalu masih ada kekurangsempurnaan kalau akan disempurnakan, maka hasil penyempurnaan itu harus benar-benar lebih jelas, upaya sosialisasi belum serius, terencana terarah, terkoordinasi dan merata. Bahkan di kalangan pengurus di semua tingkatan pun belum merata. Akibat paling fatal adalah Khitthah Nu sering menjadi “pemicu pertentangan” di kalangan warga NU sendirí, tidak menjadi pedoman pemersatu sebagaimana dimaksudkan Khitthah Nahdliyyah1. Khitthah NU 1926 Muktamar Situbondo 1984Gagasan untuk kembali ke khitthah 1926 itu telah muncul sejak tahun 1971, dimana pada saat itu pemerintah Orde Baru berupaya untuk menelikung kekuatan politik Islam. Upaya ini semakin mengental pada Muktamar 1979 di Semarang, di mana muncul dua isu utama yang mendominasi, yaitu kembali ke khitthah NU dan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Isu ini terus menggelinding sangat kuat sampai kemudian disepakati dalam Munas Alim Ulama di Situbondo tahun Situbondo yang digelar pada tahun 1983 mempertegas hubungan NU dan partai politik. NU telah berseteguh hati untuk keluar dari partai politik PPP dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan.“Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Namun Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis. Penggunaan hak berpolitik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksanakan dengan akhlakul karimah sesuai ajaran Islam sehingga tercipta kebudayaan politik yang sehat, Nahdlatul Ulama menghargai warga negara yang menggunakan hak politiknya secara baik, bersungguh-sungguh dan bertanggung NU Situbondo yang berlangsung pada tanggal 8 – 12 Desember 1984 menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU,Pemulihan keutamaan kepemimpinan ulama dengan menegaskan supermasi Syuriyah atas Tanfidziyah dalam status hukum, Penarikan diri dari politik praktis dengan cara melarang pengurus NU secara bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik,Pemilihan pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih menekankan pada bidang-bidang Muktamar 1984 terdapat regenerasi kepemimpinan di PBNU, yaitu terpilihnya duet kepemimpinan KH. Achmad Shiddiq menjadi Rais Aam PBNU dan KH. Abdurrahman Wahid menjadi Ketua Umum PBNU, menggantikan KH. Idham NU Masa Reformasi 1998 Hingga SekarangPada pertengahan 1997 Indonesia dilanda krisis moneter sangat dahsyat, yang kemudian meluas pada krisis ekonomi dan politik. Krisis ini kemudian bergesar pada krisis kepemimpinan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Krisis multidimensi ini kemudian melahirkan gerakan reformasi yang digalang kelompok menengah dan mahasiswa. Pada akhirnya krisis ini kemudian memicu ketidakpercayaan masyarakat dan memunculkan protes besar-besaran terutama dari kalangan mahasiswa. Ratusan ribu mahasiswa turun kembali ke jalan menuntut turunnya presiden Soeharto sebagai presiden dan mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada hati nurani rakyat. Kekuasaan presiden diserahkan kepada wakil presiden BJ. Habibie tanggal 21 Mei kondisi bangsa yang semakin tidak menentu dengan jatuhnya korban mahasiswa dalam peristiwa dan Semanggi, PBNU mengeluarkan sikap resmi Menyatakan keprihatinan yang mendalam atas jatuhnya korban dan mengutuk aparat keamanan dan pihak-pihak lain yang menjadi dalang serta tindakan brutal,Mengucapkan belasungkawa pada para korban, mengutuk aparat keamanan dan pihak yang menjadi dalang dan pelaku tindakan brutal terhadap mahasiswa dan warga masyarakat yang tidak pada pihak-pihak yang mengatasnamakan umat Islam dan simbol-simbol Islam sebagai alat untuk mencapai tujuan sikap MUI Majelis Ulama Indonesia yang terkesan tidak mengayomi umat dan memberi ruang gerak bagi munculnya gerakan-gerakan mernaksakan kehendak untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu yang dapat memperkeruh situasi yang berkaitan dengan SI MPR para pemimpin dan aparat pemerintah tidak dapat menjalankan amanat rakyat dalam menjaga persatuan dan kesatuan, serta tidak memberantas KKN sebagai tuntutan rakyat, agar mengundurkan diri dari warga Nu dan umat Islam pada umurnnya senantiasa takarub ila Allah mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari tindakan anarkis yang dapat merugikan kepentingan serta kesatuan periode 1999 - 2004 telah terjadi perubahan besar berkaitan dengan penyikapan terhadap khitthah NIJ 1926. Buah dari reformasi telah memberikan peluang warga NU untuk mendirikan partai politik baru. Pro kontra telah terjadi, tetapi dengan berbagai pertimbangan politik, maka warga NU perlu mempunyai wadah penyaluran aspirasi politik yang representatif. Maka kemudian berdirilah Partai Kebangkitan Bangsa PKB, bersamaan dengan iłu maka syahwat politik warga NU tidak bisa terbendung dan bergabunglah mereka ke PKB sementara mereka banyak yang masih menjabat sebagai pengurus Nu di semua kondisi seperti iłu, maka pelaksanaan khitthah NU menghadapi banyak persoalan. Terlebih setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden, nuansa politik NU cenderung menjadi lebih menonjol dan seolah-olah misi dari khitthah NU agak terlupakan. Upaya untuk mengembalikan NU ke khitthah terus dilakukan, ułamanya pada masa kepemimpinan KH. Hasyim Muzadi. Rangkap jabatan tidak diperbolehkan dałam kepengurusan NU di semua tingkatan. Bagi mereka yang menjadi pengurus partai politik tidak hanya PKB tidak boleh merangkap menjadi pengurus NU. Demikian pula bagi mereka yang ingin menjadi calon legislatif DPR tidak boleh membawa-bawa bendera NU untuk kepentingan politiknya. Kebijakan itu menjadi mentah setelah KH. Hasyim Muzadi digandeng Megawati Soekarno Putri menjadi calon wakil presiden. Di sini Khitthah NU diuji kembali, namun keputusan khitthah tetap berjalan meskipun banyak Ułama harus tetap dikembalikan pada misi semula sebagai gerakan sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Gerakan pemikiran, pemberdayaan masyarakat pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pemberdayaan pendidikan terus berjalan meskipun godaan politik terus berjalan. Perlu ditumbuhkan kembali semangat khitthah NU 1926 agar perjuangan NU menjadi lebih bermakna bagi NU harus menjadikan pelajaran yang berharga bahwa perpecahan di tubuh NU sering terjadi dikarenakan tarik menarik kepentingan politik. Perpecahan di PKB misalnya baik secara langsung maupun tidak langsung, sangat merugikan warga NU itu sendiri. Karena itu penegakan terhadap prinsip Khitthah bisa menjadi salah satu alternatif NU termasuk pelajar menjadi harapan utama untuk bisa melaksanakan nilai-nilai khitthah NU secara konsisten dan bertanggung jawab. Tidak mudah terbawa oleh arus dinamika pelajar agar menjadi warga NU yang berkualitas dan mampu bersaing dengan orang lain. Tidak ikut-ikutan setiap ada pesta demokrasi seperti pemilu legeslatif, pilpres, pilkada, dan pilkades harus menjadi prinsip setiap pelajar NU. Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan mengembalikan NU ke khittah muncul kembali dalam khutbah iftitâh Rais Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah Wahab mengajak muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan membantu.... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang NU mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Ada Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan. Khittah anggapan, hal ini sudah mulai dilupakan banyak orang. Seringkali, bicara Khittah NU 1926 hanya dikaitkan hubungan NU dengan PKB, PKNU, PPP dan partai politik lain. Padahal khittah bukan sebatas itu, dan mencakup tema-tema yang luas seluas wilayah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain. Pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, pada pasal pengertian khittah menyebutkan, Khitthah NU 1926 merupakan landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi. Dalam hal ini penulis akan membahas tentang khittah NU dan sejarah gerakan NU. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah Latar Belakang kembali Ke Khittah? 2. Apakah Mabadi Khaira Ummah Itu ? 3. Bagaimana Gerakan Politik NU Setelah Khittah? 4. Bagaimana Gerakan Kultur NU? BAB II PEMBAHASAN KHITTAH NU 1926 A. Latar Belakang Kembali Ke khittah Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926. NU mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Ada Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan. Khittah anggapan, hal ini sudah mulai dilupakan banyak orang. Seringkali, bicara Khittah NU 1926 hanya dikaitkan hubungan NU dengan PKB, PKNU, PPP dan partai politik lain. Padahal khittah bukan sebatas itu, dan mencakup tema-tema yang luas seluas wilayah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain. Pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, pada pasal pengertian khittah menyebutkan, Khitthah NU 1926 merupakan landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi. Juga daIam setiap proses pengambilan keputusan. Landasan tersebut ialah faham Islam Ahlussunnah wal Jama'ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Ini meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Khitthah NU 1926 yang digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa. Dalam praksisnya, Khittah NU 1926, misal, terkait dengan persoalan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Dalam pandangan Khittah NU 1926, NKRI sudah final. NU tidak sepakat dengan pemberlakukan hukum Islam secara legal formal. Selain itu, menurut keputusan Muktamar Ke-27 juga disebutkan, NU sebagai organisasi keagamaan, merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia. Khittah NU 1926 juga melandasi praksis hubungan kemasyarakatan yang senantiasa memegang teguh prinsip persaudaraan, toleransi, kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama warga negara dengan keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis. Kini, banyak orang memunculkan gagasan, perlunya membumikan Khittah NU 1926 dalam tatara yang lebih praktis, lebih konteks, dan lebih memberi daya dorong dalam beragam persoalan. Khittah NU 1926 dirasakan masih ”abstrak” dan ”imajiner” dibandingkan dengan sebagai ruh yang mampu memberi daya dorong dalam segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara. B. Mabadi Khaira Ummah a. Pengertian mabadi khaira ummah Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat terbaik” Khaira Ummah yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar makruf nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT. Sesuai dengan cita-cita NU, Amar ma’ruf adalah mengajak dan mendorong perbuatan baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi dan ukhrawi, sedangkan nahi mungkar adalah menolak dan mencegah segala hal yang dapat merugikan, merusak dan merendahkan, nilai-nilai kehidupan dan hanya dengan kedua sendi tersebut kebahagiaan lahiriah dan bathiniyah dapat tercapai. Prinsip dasar yang melandasinya disebut “Mabadi Khaira Ummah”. Kalimat Khaira Ummah diambil dari kandungan Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 110 yang artinya Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.QS. Ali Imran [3]110. b. Tujuan Mabadi Khaira Ummah Sebagaimana dijelaskan di atas, gerakan Mabadi Khaira Ummah yang pertama dahulu diarahkan kepada penggalangan warga untuk mendukung program pembangunan ekonomi NU. Program ini telah menjadi perhatian serius pula saat ini, sebagaimana hasil Kongres NU ke-28. Sementara itu kebutuhan strategis NU dewasa ini pun semakin berkembang. NU telah tumbuh menjadi satu organisasi massa besar. Tetapi, meskipun tingkat kohesi kultural di antara warga tinggi, kita tidak dapat mengingkari kenyataan, betapa lamban proses pengembangan tata organisasinya. Di hampir semua tingkat kepengurusan dan realisasi program masih terlihat kelemahan manajemen sebagai problem serius. Menyongsong tugas-tugas berat di massa datang, persoalan pembinaan tata organisasi ini perlu segera ditangani. Jika ditelaah lebih mendalam, nyatalah bahwa prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Mabadi Khaira Ummah tersebut memang amat relevan dengan dimensi personal dalam pembinaan manejemen organisasi, baik organisasi usaha bisnis maupun organisasi sosial. Manajemen organisasi yang baik membutuhkan sumber daya manusia yang tidak saja terampil, tetapi juga berkarakter terpuji dan bertanggung jawab. Dalam pembinaan organisasi NU, kualitas sumber daya manusia semacam ini jelas dibutuhkan. Dengan demikian, gerakan Mabadi Khaira Ummah tidak saja relevan dengan program pengembangan ekonomi, tetapi juga pembinaan organisasi pada umumnya. Kedua hal ini yang akan menjadi arah strategis pembangkitan kembali gerakan Mabadi Khaira Ummah kita nantinya, di samping bahwa sumber daya manusia yang dapat dikembangkan melalui gerakan ini pun akan menjadi kader-kader unggul yang siap berkiprah aktif dalam mengikhtiyarkan kemashlahatan umat, bangsa dan negara pada umumnya. c. Butir-Butir Mabadi Khaira Ummah Dan Pengertiannya Yang perlu dicermati selanjutnya dalah perbedaan konteks zaman antara massa gerakan Mabadi Khaira Ummah pertama kali dicetuskan dan masa kini. Melihat besar dan mendasarnya perubahan sosial yang terjadi dalam kurun sejarah tersebut, tentulah perbedaan konteks itu membawa konsekuensi yang tidak kecil. Demikian pula halnya dengan perkembangan kebutuhan-kebutuhan internal NU sendiri. Oleh karenanya perlu dilakukan beberapa penyesuaian dan pengembangan dari gerakan Mabadi Khaira Ummah yang pertama agar lebih jumbuh dengan konteks kekinian. Konsekuensi-konsekuensi dari berbagai perkembangan itu akan menyentuh persoalan arah dan titik tolak gerakan serta strategi pelaksanaannya. Di atas telah dijelaskan pengembangan kerangka tujuan bagi gerakan ini. Berkaitan dengan itu pula, diperlukan penyesuaian dan pengembangan yang menyangkut butir-butir yang dimasukkan dalam Mabadi khaira Ummah dan spesifikasi pengertiannya. Jika semula Mabadi Khaira Ummah hanya memuat tiga butir nilai seperti telah disebut di atas, dua butir lagi perlu ditambahkan untuk mengantisipasi persoalan dan kebutuhan kontemporer. Kedua butir itu adalah al-Adalah dan al-Istiqamah. Dengan demikian, gerakan Mabadi Khaira Ummah kita ini akan membawa lima butir nilai yang dapat pula disebut sebagai “Al-Mabadi Al-Khamsah”. Berikut ini adalah uraian pengertian yang telah dikembangkan dari kelima butir “Al-Mabadi Al-Khamsah” tersebut disertai kaitan dengan orientasi-orientasi spesifiknya, sesuai dengan kerangka tujuan yang telah dijelaskan di atas 1. As-Shidqu Butir ini mengandung arti kejujuran/kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan. Kejujuran/kebenaran adalah satunya kata dengan perbuatan, ucapan dengan pikiran. Apa yang diucapkan sama dengan yang di bathin. Jujur dalam hal ini berarti tidak plin-plan dan tidak dengan sengaja memutarbalikkan fakta atau memberikan informasi yang menyesatkan. Dan tentu saja jujur pada diri sendiri. Termasuk dalam pengertian ini adalah jujur dalam bertransaksi dan jujur dalam bertukar pikiran. Jujur dalam bertransaksi artinya menjauhi segala bentuk penipuan demi mengejar keuntungan. Jujur dalam bertukar pikiran artinya mencari mashlahat dan kebenaran serta bersedia mengakui dan menerima pendapat yang lebih baik. Dalil-dalil yang berkaitan dengan hal ini adalah “Dusta itu bukanlah yang memperbaiki di kalangan manusia, lalu menumbuhkan kebaikan atau berbicara baik” Muttafaq alaih 2. Al-Amanah wal-Wafa bil ahd Butir ini memuat dua istilah yang saling terkait, yakni al-amanah dan al-wafa’ bil ’ahdi. Yang pertama secara lebih umum maliputi semua beban yang harus dilaksanakan, baik ada perjanjian maupun tidak, sedang yang disebut belakangan hanya berkaitan dengan perjanjian. Kedua istilah ini digambungkan untuk memperoleh satu kesatuan pengertian yang meliputi dapat dipercaya, setia dan tepat janji. Dapat dipercaya adalah sifat yang diletakkan pada seseorang yang dapat melaksanakan semua tugas yang dipikulnya, baik yang bersifat diniyah maupun ijtima’iyyah. Dengan sifat ini orang menghindar dari segala bentuk pembekalaian dan manipulasi tugas atau jabatan. 3. Al-Adalah Bersikap adil al’adalah mengandung pengertian obyektif, proposional dan taat asas. Bitir ini mengharuskan orang berpegang kepad kebenaran obyektif dan memnempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Distorsi penilaian sangat mungkin terjadi akibat pengaruh emosi, sentimen pribadi atu kepentingan egoistic. Distorsi semacam ini dapat menjeruamuskan orang kedalam kesalahan fatal dalam mengambil sikap terhadap suatu persolan. Buntutnya suadah tentu adalah kekeliruan bertindak yang bukan saja tidak menyelesaikan masalah, tetapi bahkan menambah-nambah keruwetan. Lebih-lebih jika persolan menyangkut perselisihan atau pertentangan diantara berbagai pihak. Dengan sikap obyektif dan pro[osional distorsi semacam ini dapat dihindarkan. 4. At-Ta'awun At-ta’awun merupakan sendi utama dalam tata kehidupan masyarakat manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Pengertia ta'awun meliputi tolong menolong, setia kawan dan gotong royong dalam kebaikan dan taqwa. Imam al-Mawardi mengaitkan pengertia al-birr kebaikan dengan kerelaan manusia dan taqwa dengan ridla Allah SWT. Memperoleh keduanya berarti memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Ta'awun juga mengandung pengertian timbal balik dari masing-masing pihak untuk memberi dan menerima. Oleh karena itu, sikap ta'awun mendorong setiap orang untuk berusaha dan bersikap kreatif agar dapat memiliki sesuatu yang dapat disumbangkan kepada orang lain dan kepada kepentingan bersama. Mengembangkan sikap ta'awun berarti juga mengupayakan konsolidasi. 5. Istiqamah Istiqamah mengandung pengertian ajeg-jejeg, berkesinambungan, dan berkelanjutan. Ajeg-jejeg artinya tetap dan tidak bergeser dari jalur thariqah sesuai dengan ketentuan Allah SWT dan rasul-Nya, tuntunan yang diberikan oleh salafus shalih dan aturan main serta rencana-rencana yang disepakati bersama. Kesinambungan artinya keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegaiatan yang lain dan antara satu periode dengan periode yang lain sehingga kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan saling menopang seperti sebuah bangunan. Sedangkan makna berkelanjutan adalah bahwa pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut merupakan proses yang berlangsung terus menerus tanpa mengalami kemandekan, merupakan suatu proses maju progressing bukannya berjalan di tempat stagnant. C. Gerakan Politik NU Setelah Khittah Nahdlatul Ulama NU berdiri 1926 adalah sebagai organisasi kemasyarakatan atau jam’iyah, bukan partai politik, bukan institusi politik, tapi tak bisa dipungkiri dan dihindarai bahwa sejak kelahirannya NU telah bersinggungan dengan ruang politik. Pada tahun 1940-1943 NU masuk MIAI yang kemudian menjadi Masyumi. Masyumi dibentuk dimaksudkan untuk menciptakan kekuatan besar bagi umat Islam. Tahun 1945 Raisul Akbar Hadrotussyaikh KH Hasyim As’ary mengeluarkan fatwa resolusi jihad untuk menghadapi tentara nicca belanda. Dan pada tahun-tahun berikutnya NU juga tak tinggal diam menghadapi PKI. Ada satu hal yang perlu dicatat bahwa, kelahiran NU itu sendiri sebagai respon atas munculnya Islam wahabisme atau Islam reformis yang menyatakan dirinya sebagai kaum pambaharu Islam. Melihat sisi historis demikian maka boleh dikata semenjak kelahirannya NU telah berpolitik, barulah pada tahun 1952 Muktamar NU ke 19 di palembang, NU resmi menyatakan diri sebagai partai politik setelah keluar dari Masyumi. Dari pemilu 1955 sampai pemilu 1971 NU berhasil meraih suara cukup menggembirakan, NU benar-benar bermain di arena politik, NU punya bargaining cukup tinggi, NU punya banyak wakil di DPR, para ulama sepuh NU juga masih banyak. sampai disini NU masih berjaya. Barulah pada tahun 1973 NU mulai melewati masa awal perpecahan. Semua partai Islam termasuk NU harus fusi dalam satu partai yaitu Partai Persatuan PembangunanPPP. PPP tak ubahnya seperti Masyumi dulu, perselisihan antar kelompok dalam tubuh PPP terus terjadi tak kunjung usai. Kasus yang terjadi di PPP serupa dengan yang terjadi di Masyumi – NU selalu dimarjinalkan. NU dalam posisi rumit, bikin partai tak boleh, memperbaiki PPP juga suatu hal yang sangat sulit karena PPP dan PDI saat itu merupakan boneka orde baru. Disinilah titik awal dimulainya perpecahan warga NU, dimana pemerintah Orba salah satu factor utama dalam penghancuran NU. NU selanjutnya hanya berpolitik secara moral yang sulit dipertanggungjawabkan hasilnya. NU kemudian hanya menitipkan para kadernya di PPP, sedang NU sendiri hanya bisa bermain diluar arena. Pola dukung mendukung oleh NU mulai dijalankan. NU terkadang bermetamorfosa dari hijau menjadi merah ketika Gus Dur mendekati Mega yang waktu itu kita kenal dengan istilah Mega-Gus Dur untuk menandingi PDI Suryadi. Atau terkadang NU berubah ujud dari hijau ke kuning ketika Gus Dur mengajak warganya untuk mengikuti Istighotsah NU-Golkar di berbagai daerah beberapa tahun silam sebelum reformasi. Setelah reformasi bergulir, sepertinya ada harapan besar bagi NU untukmengembalikan kejayaan NU dimasa silam. Toh demikian masih terlalu berat jika NU menjelma menjadi partai. NU akhirnya mendirikan PKB dimana PKB diharapkan menjadi satu-satunya partai NU yang berakses ke PBNU. NU sendiri bukanlah partai tapi NU punya sayap politik yaitu PKB. Betapa hebat respon masyarakat terhadap lahirnya PKB, Ini wajar saja karena warga NU benar-benar haus dengan partai NU setelah 32 tahun NU dipinggirkan. Namun tampaknya harapan hanya tinggal harapan, PKB yang diharapkan menjadi sayap politik NU justeru berjalan sendiri bahkan senantiasa berseberangan dengan NU structural. Antara PKB dan NU mulai ada tanda-tanda kurang serasi, PKB memecat ketuanya yaitu Matori Abdul jalil yang sebenarnya NU tidak menghendaki. Ketidak serasian NU-PKB ini diperuncing lagi ketika NU punya gawe mencalonkan Hasyim Muzadi menjadi cawapres Mega. Dengan susah payah NU menggerakkan warganya dari tingkat PW-PC-MWC bahkan sampai ketingkat ranting untuk mengegolkan jagonya yaitu Hasyim Muzadi menjadi Cawapres, tapi PKB saat itu justeru mendukung Wiranto-Wahid dari Golkar, diteruskan pada pilpres putaran kedua PKB mendukung SBY-JK. Cukup sudah PKB menyodok NU saat itu. Mulai dari itu PKB dianggap bukan lagi partai sayap politik NU karena PKB terlalu jauh meninggalkan NU. Carut-marut perpolitikan NU saat ini sudah sangat rumit. Musuh sudah pakai senjata api kita masih berebut senjata bambu. Sederet pertanyaan inilah yang mungkin akan terjawab dalam muktamar NU mendatang. D. Gerakan Kultur NU NU sebagai organisasi masa Islam, sampai sekarang masih menjadi bahasan yang menarik di dunia akademik. Banyak peneliti asing yang tertarik dengan NU, di antaranya Martin van Bruinessen, Greg Barton, Greg Fealy, Ben Anderson, Mitsuo Nakamura dan lain sebagainya. Mereka tertarik kultur NU dengan ketradisionalannya yang dianggap eksotik. Berbeda dengan aliran Islam lainnya, NU sangat menghargai tradisi dan kebudayaan setempat. Para peneliti ini mengikuti penelitian Antropologis yang sebelumnya pernah dilakukan. Mereka adalah Clifford Gertz, Andrew Beautty, Mark R. Woodward, Robert Hefner dan antropolog lainya yang memfokuskan pada agama Jawa. Karya-karya yang dihasilkan oleh para peneliti ini hingga sekarang cukup populer dan selalu menjadi rujukan di dunia akademis baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam konteks seperti ini, NU menjadi obyek penelitian. Para peneliti inilah yang memiliki otoritas untuk merepresentasikan NU, baik itu berupa sejarah, komunitas, perilaku, dan masa depan NU. Sebagai obyek penelitian, tentunya NU sama sekali tidak memiliki otoritas dalam merepresentasikan dirinya. Hasil-hasil penelitian beberapa peneliti ini, bukan tidak berdampak pada perkembangan Islam di Indonesia. Kita perlu menyadari bersama bahwa peneliti Barat bukan hanya sekedar meneliti atas nama pengetahuan belaka. Mereka datang untuk meneliti sekaligus membuat bangunan epistemologi gerakan Islam. Sehingga wajar jika gerakan Islam di Indonesia semakin bias kepentingan. BAB III KESIMPULAN Dari uraian diatas maka penulis dapat menyimpulkan tentang Khittah NU yaitu 1. Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926. 2. Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat terbaik” Khaira Ummah yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar makruf nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT. 3. Setelah Khittah NU tidak lagi ikut secara aktif dalam politik praktis tetapi lebih kepada politik taktis. 4. gerakan kultur NU lebih kepada upaya pemertahanan tradisi atau budaya. DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata, Teologi Islam, Modul Penyetaraan Universitas Terbuka, Departemaen Agama 1997. AD dan ART Nahdlatul Ulama Hasanuddin, Dkk, Pendidikan ke-NU-an ASWAJA, CV Al-Ihsan, Surabaya 1992. Pustaka Ma’arif NU, Islam Ahlussunnah Wal Jamaah Di Indonesia, Jakarta, 2007.

bagaimana latar belakang munculnya gagasan kembali ke khittah